Kamis, Februari 12, 2009

MENYAMBUT UMUR 40 TAHUN

Akar dan orientasi kultur masyarakat barat adalah materialisme. Mereka menilai dan membuat indikator hidup dari sisi materialistis. Atas dasar ini tidak mengherankan jika mereka mempunyai ungkapan bahwa 'hidup' dimulai dari umur 40, life begin at 40.

Asumsinya adalah pada umur ini, karir telah cukup mapan, pendapatan, serta kekayaan telah mencukupi. Karena itu, sering pula pada umur 40 tahun ini dikaitkan dengan puber kedua, yang membawa pada perselingkuhan. Kemapanan materi membawa godaan, sehingga umur 40 tahun merupakan saat kritis terjadi perceraian dalam rumah tangga.
Islam memberi perhatian pada umur 40 berbeda secara diametrikal dengan budaya barat. Umur 40 mendapat perhatian khusus dari Al-Qur'an. Dalam Surat Al Ahqaf (46) ayat 15 Allah berfirman:

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa : " Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Kau berikan kepadaku, dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat beramal shalih yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesunggguhnya aku bertaubat kepadaMu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."

Dalam surat tersebut setidaknya terdapat empat indikator kemuliaan manusia yang seharusnya menjadi identitas orang yang mencapai umur 40 tahun, yaitu: bersyukur, bertaubat, beramal shalih, dan berserah diri.

Bersyukur kepada Allah atas karunia umur yang menghantarkannya mencapai angka 40. Bersyukur atas kenikmatan hidup yang telah dianugerahkan Allah, baik berupa kenikmatan material maupun nikmat anak keturunan (dzuriyat). Bersyukur sesuai hakikat bahwa semuanya karena kehendak yang mengikuti nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah dan dicontohkan dalam kehidupan Rasul dan para sahabat.

Bertobat disertai kesadaran bahwa manusia mempunyai kalbu yang berbolak balik antara tarikan kebaikan dan keburukan.. Bertobat disertai perenungan dan perhitungan apakah di usia 40 tahun lebih berat kebaikannya atau keburukannya. Nabi SAW bersabda dalam sebuah hadistnya,
"Sesiapa yang mencapai umur 40 tahun dan dosanya lebih berat dari amal baiknya maka bersiaplah memasuki neraka."

Berserah diri, merupakan permulaan yang pas untuk menapaki usia 40 tahun. Dengan demikian umur 40 tahun dipandang sebagai pencerahan kejiwaan, gerbang cahaya menuju kehidupan yang lebih mulia.

Disamping itu juga usia 40 tahun berarti jatah usia kita sudah berkurang. meskipun secara kuantitatif usia kita bertambah. Artinya seandainya jatah usia kita 50 tahun, maka hidup kita tinggal 10 tahun, atau jika jatah usia kita 60 tahun, maka kita tinggal menghitung sendiri, berapa lama kita hidup lagi. Dan seterusnya.
Aneh jika sebagian kita merayakan ulang tahun dengan bangga bernyanyi ria "panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia, serta mulia". Seharusnya kita introspeksi bahwa, jatah usia kita semakin berkurang dan nilai-nilai kemuliaan harus dijadikan barometer dalam beramal.. Wallahu a'lam.

(disadur dari http://jaen2006.wordpress.com/)

Selasa, Februari 10, 2009

TATKALA ANGGREK BERBUNGA



Kalau bicara soal tanaman dan bunga, ibuku adalah jawaranya (dan ibuku juga adalah IBU juara satu di seluruh dunia, tak ada bandingannya bagi kami, anak-anaknya). Konon, suamiku justru pertama kali jatuh cinta sama bunga-bunga di halaman rumah ibuku sejak dia pertama kali berkunjung di awal bulan Juli 1989 dulu. "Bukan sama penghuninya", katanya (kurang ajar betul ya!) Tapi memang demikianlah kenyataannya, tanaman apapun 'jadi' jika sudah kena sentuhan tangan dingin ibuku. Tak heran kalau orang bisa betah berlama-lama di rumah ibu nan asri itu (ah.. kok jadi 'kangen' ya..hiks)

Dan, aku benci setengah mati karena suamiku selalu membanding-bandingkan aku dengan ibu dalam soal tanam-menanam dan rawat-merawat bunga itu. Dia menyayangkan kenapa aku tak bisa mewarisi 'bakat' ibu yang satu itu (So what gitu loh..). Dia bahagia banget jika ibuku berkomentar soal tanamanku yang 'tak terawat' dengan baik. "Iya Bu, maklum wanita karier, nggak sempet.." begitu dia memanas-manasiku. Parahnya, komentar-komentar ibuku tiap berkunjung ke rumah kami dan sentilan suamiku (yang sering mematikan karakter) itu malah membuatku semakin malas. Kuserahkan begitu saja perawatan tanaman2 di halaman rumahku itu sama si Empok, yang -paling banter- hanya disiraminya aja tiap sore.

Hingga suatu ketika, sahabatku Henie Suryana lewat blognya (http://nisanajma.multiply.com/) sharing tentang anggrek-2nya yang berbunga setelah sering diajak ngomong. Tanaman bagai manusia!!, demikian dia beri judul pada postingan yang berisi tulisan & foto2 anggreknya itu. Aku cukup terinspirasi oleh ceritanya itu. Sebenarnya sih, dulu ibuku-pun pernah mengatakan hal -yang kurang lebih- sama.
Ketika aku akan berangkat ke tanah suci 2 bulan lalu, selain aku 'pamit' sama keluarga besarku & keluarga besar suamiku, teman2 sejawat, para tetangga dan handai taulan, aku juga 'pamit' sama rumah & kompleksku ('jangan banjir ya..' gumamku ketika itu). Tiba-tiba kulihat tanaman2ku di halaman yang sepertinya 'merana' akan kutinggal pergi. Dan malam2 sebelum esok paginya aku 'berangkat' itu, kupamiti mereka satu persatu. Kuelus-elus daun2 anggrek -pemberian ibuku- yang sudah lama 'ngambek' tak berbunga itu (padahal waktu kubawa dulu bunganya sampai 3 bulan nggak habis2), kusirami dia dengan air -bekas cucian- beras. Kuajak dia bicara sepenuh hatiku: "Maafin aku ya Nggrek, selama ini 'tak kuurus' kau dengan baik. Aku pergi dulu, kalau aku pulang nanti sambut aku dengan 'bunga'-mu yaa.."

Subhanallah, aku benar2 kaget waktu pulang dan mendapati anggrek-ku telah mulai kuncup. Sejak itu aku makin rajin menyiraminya dengan 'air beras'. Dan kini lihatlah, anggrek-ku telah berbunga, 2 tangkai sekaligus! Paling tidak, aku telah mematahkan 'mitos' suamiku bahwa aku tidak bisa mewarisi bakat ibu (walapun tentu saja aku tak bisa secanggih ibuku, red). I love you, Mom..