Jumat, Maret 20, 2009

JIKALAH PADA AKHIRNYA...


Jikalah derita akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dijalani dengan sepedih rasa,
Sedang ketegaran akan lebih indah dikenang nanti.

Jikalah kesedihan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa tidak dinikmati saja,
Sedang ratap tangis tak akan mengubah apa-apa.

Jikalah luka dan kecewa akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dibiarkan meracuni jiwa,
Sedang ketabahan dan kesabaran adalah lebih utama.

Jikalah kebencian dan kemarahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti diumbar sepuas jiwa,
Sedang menahan diri adalah lebih berpahala.

Jikalah kesalahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti tenggelam di dalamnya,
Sedang taubat itu lebih utama.

Jikalah harta akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti ingin dikukuhi sendiri,
Sedang kedermawanan justru akan melipatgandakannya.

Jikalah kepandaian akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti membusung dada dan membuat kerusakan di dunia,
Sedang dengannya manusia diminta memimpin dunia agar sejahtera.

Jikalah cinta akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti ingin memiliki dan selalu bersama,
Sedang memberi akan lebih banyak menuai arti.

Jikalah bahagia akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dirasakan sendiri,
Sedang berbagi akan membuatnya lebih bermakna.

Jikalah hidup akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti diisi dengan kesia-siaan belaka,
Sedang begitu banyak kebaikan bisa dicipta.

Suatu hari nanti,
Saat semua telah menjadi masa lalu,
Aku ingin ada diantara mereka,
Yang bertelekan di atas permadani,
Sambil bercengkerama dengan tetangganya,
Saling bercerita tentang apa yang telah dilakukannya di masa lalu,
Hingga mereka mendapat anugerah itu.

Duhai kawan, dulu aku miskin dan menderita,
namun aku tetap berusaha untuk senantiasa bersyukur dan bersabar.
Dan ternyata, derita itu hanya sekejap saja dan hanya seujung kuku,
di banding segala nikmat yang kuterima di sini..
Wahai kawan, dulu aku membuat dosa sepenuh bumi,
namun aku bertaubat dan tak mengulang lagi hingga maut menghampiri.
Dan ternyata, ampunan-Nya seluas alam raya,
Hingga sekarang aku berbahagia..

Suatu hari nanti,
Ketika semua telah menjadi masa lalu,
Aku tak ingin ada di antara mereka,
Yang berpeluh darah dan berkeluh kesah:
Andai masa lalu mereka adalah tanah saja.

Duhai! harta yang dahulu kukumpulkan sepenuh raga,
ilmu yang kukejar setinggi langit,
kini hanyalah masa lalu yang tak berarti.
Mengapa dulu tak kubuat menjadi amal jariah yang dapat menyelamatkanku kini?
Duhai! nestapa, kecewa, dan luka yang dulu kujalani,
ternyata hanya sekejap saja dibanding sengsara yang harus kuarungi kini.
Mengapa aku dulu tak sanggup bersabar meski hanya sedikit jua?

(Azimah Rahayu - Forum Lingkar Pena)

Kamis, Februari 12, 2009

MENYAMBUT UMUR 40 TAHUN

Akar dan orientasi kultur masyarakat barat adalah materialisme. Mereka menilai dan membuat indikator hidup dari sisi materialistis. Atas dasar ini tidak mengherankan jika mereka mempunyai ungkapan bahwa 'hidup' dimulai dari umur 40, life begin at 40.

Asumsinya adalah pada umur ini, karir telah cukup mapan, pendapatan, serta kekayaan telah mencukupi. Karena itu, sering pula pada umur 40 tahun ini dikaitkan dengan puber kedua, yang membawa pada perselingkuhan. Kemapanan materi membawa godaan, sehingga umur 40 tahun merupakan saat kritis terjadi perceraian dalam rumah tangga.
Islam memberi perhatian pada umur 40 berbeda secara diametrikal dengan budaya barat. Umur 40 mendapat perhatian khusus dari Al-Qur'an. Dalam Surat Al Ahqaf (46) ayat 15 Allah berfirman:

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa : " Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Kau berikan kepadaku, dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat beramal shalih yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesunggguhnya aku bertaubat kepadaMu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."

Dalam surat tersebut setidaknya terdapat empat indikator kemuliaan manusia yang seharusnya menjadi identitas orang yang mencapai umur 40 tahun, yaitu: bersyukur, bertaubat, beramal shalih, dan berserah diri.

Bersyukur kepada Allah atas karunia umur yang menghantarkannya mencapai angka 40. Bersyukur atas kenikmatan hidup yang telah dianugerahkan Allah, baik berupa kenikmatan material maupun nikmat anak keturunan (dzuriyat). Bersyukur sesuai hakikat bahwa semuanya karena kehendak yang mengikuti nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah dan dicontohkan dalam kehidupan Rasul dan para sahabat.

Bertobat disertai kesadaran bahwa manusia mempunyai kalbu yang berbolak balik antara tarikan kebaikan dan keburukan.. Bertobat disertai perenungan dan perhitungan apakah di usia 40 tahun lebih berat kebaikannya atau keburukannya. Nabi SAW bersabda dalam sebuah hadistnya,
"Sesiapa yang mencapai umur 40 tahun dan dosanya lebih berat dari amal baiknya maka bersiaplah memasuki neraka."

Berserah diri, merupakan permulaan yang pas untuk menapaki usia 40 tahun. Dengan demikian umur 40 tahun dipandang sebagai pencerahan kejiwaan, gerbang cahaya menuju kehidupan yang lebih mulia.

Disamping itu juga usia 40 tahun berarti jatah usia kita sudah berkurang. meskipun secara kuantitatif usia kita bertambah. Artinya seandainya jatah usia kita 50 tahun, maka hidup kita tinggal 10 tahun, atau jika jatah usia kita 60 tahun, maka kita tinggal menghitung sendiri, berapa lama kita hidup lagi. Dan seterusnya.
Aneh jika sebagian kita merayakan ulang tahun dengan bangga bernyanyi ria "panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia, serta mulia". Seharusnya kita introspeksi bahwa, jatah usia kita semakin berkurang dan nilai-nilai kemuliaan harus dijadikan barometer dalam beramal.. Wallahu a'lam.

(disadur dari http://jaen2006.wordpress.com/)

Selasa, Februari 10, 2009

TATKALA ANGGREK BERBUNGA



Kalau bicara soal tanaman dan bunga, ibuku adalah jawaranya (dan ibuku juga adalah IBU juara satu di seluruh dunia, tak ada bandingannya bagi kami, anak-anaknya). Konon, suamiku justru pertama kali jatuh cinta sama bunga-bunga di halaman rumah ibuku sejak dia pertama kali berkunjung di awal bulan Juli 1989 dulu. "Bukan sama penghuninya", katanya (kurang ajar betul ya!) Tapi memang demikianlah kenyataannya, tanaman apapun 'jadi' jika sudah kena sentuhan tangan dingin ibuku. Tak heran kalau orang bisa betah berlama-lama di rumah ibu nan asri itu (ah.. kok jadi 'kangen' ya..hiks)

Dan, aku benci setengah mati karena suamiku selalu membanding-bandingkan aku dengan ibu dalam soal tanam-menanam dan rawat-merawat bunga itu. Dia menyayangkan kenapa aku tak bisa mewarisi 'bakat' ibu yang satu itu (So what gitu loh..). Dia bahagia banget jika ibuku berkomentar soal tanamanku yang 'tak terawat' dengan baik. "Iya Bu, maklum wanita karier, nggak sempet.." begitu dia memanas-manasiku. Parahnya, komentar-komentar ibuku tiap berkunjung ke rumah kami dan sentilan suamiku (yang sering mematikan karakter) itu malah membuatku semakin malas. Kuserahkan begitu saja perawatan tanaman2 di halaman rumahku itu sama si Empok, yang -paling banter- hanya disiraminya aja tiap sore.

Hingga suatu ketika, sahabatku Henie Suryana lewat blognya (http://nisanajma.multiply.com/) sharing tentang anggrek-2nya yang berbunga setelah sering diajak ngomong. Tanaman bagai manusia!!, demikian dia beri judul pada postingan yang berisi tulisan & foto2 anggreknya itu. Aku cukup terinspirasi oleh ceritanya itu. Sebenarnya sih, dulu ibuku-pun pernah mengatakan hal -yang kurang lebih- sama.
Ketika aku akan berangkat ke tanah suci 2 bulan lalu, selain aku 'pamit' sama keluarga besarku & keluarga besar suamiku, teman2 sejawat, para tetangga dan handai taulan, aku juga 'pamit' sama rumah & kompleksku ('jangan banjir ya..' gumamku ketika itu). Tiba-tiba kulihat tanaman2ku di halaman yang sepertinya 'merana' akan kutinggal pergi. Dan malam2 sebelum esok paginya aku 'berangkat' itu, kupamiti mereka satu persatu. Kuelus-elus daun2 anggrek -pemberian ibuku- yang sudah lama 'ngambek' tak berbunga itu (padahal waktu kubawa dulu bunganya sampai 3 bulan nggak habis2), kusirami dia dengan air -bekas cucian- beras. Kuajak dia bicara sepenuh hatiku: "Maafin aku ya Nggrek, selama ini 'tak kuurus' kau dengan baik. Aku pergi dulu, kalau aku pulang nanti sambut aku dengan 'bunga'-mu yaa.."

Subhanallah, aku benar2 kaget waktu pulang dan mendapati anggrek-ku telah mulai kuncup. Sejak itu aku makin rajin menyiraminya dengan 'air beras'. Dan kini lihatlah, anggrek-ku telah berbunga, 2 tangkai sekaligus! Paling tidak, aku telah mematahkan 'mitos' suamiku bahwa aku tidak bisa mewarisi bakat ibu (walapun tentu saja aku tak bisa secanggih ibuku, red). I love you, Mom..

Rabu, Januari 21, 2009

RUJAK BEBEK & TOGE GORENG


Dua jenis makanan ini adalah jajanan favorit suamiku. Tak peduli hujan - gerimis - panas - terik, di jalanan - di halaman rumah orang - bahkan di pinggir got sekalipun, tiap ada pedagang dua jenis jajanan itu, pasti akan langsung disamperin dan dibelinya. Dan yang pasti, acara jalan-jalan sering terkorupsi 30 menit sampai 1 jam hanya untuk nungguin si papah melampiaskan dendam kesumatnya, lebih-lebih jika sudah lama tak ketemu dengan yang namanya 'rujak bebek' atau 'tauge goreng' itu, nggak tanggung-tanggung, bisa 2 - 3 porsi sekaligus!

Awalnya kami tak pernah tertarik untuk ikut nimbrung sama si papah, paling-paling kita tunggu di mobil sambil dengerin radio, musik atau ngobrol ngalor-ngidul aja. Tapi lama-lama bete juga nungguin si papah yang nggak balik-balik (karena nambah lagi dan nambah teruss..). Akhirnya satu per-satu anak-anak turun. Niatnya sih pengin ajak si papah cepet2 balik ke mobil dan nerusin perjalanan. Tapi sampai di sana, begitu liat ekspresi papahnya yang lagi makan dengan 'lahap-nya.. e-eh, iseng juga mereka pengin cobain. Sejak itu mereka ikut-ikutan keranjingan, terutama sama si rujak bebek.

Yang pasti, sekarang acara makan rujak bebek jadi lebih ramai. Si papah telah berhasil mewariskan 'kedoyanan' akan rujak bebek pada keempat jagoan kami. Betapa bangganya dia, soalnya selama 14 tahun terakhir aku menjadi istrinya, tak sekalipun dia berhasil menularkan hobby-nya yang satu itu padaku. So what gitu loh...

Jumat, Januari 16, 2009

SEWAKTU SENJA DI PUNCAK PASS


Malam pergantian tahun ini kami lewati di puncak. Kebetulan anak-anak libur semesteran, sementara aku & papahnya masih cuti besar.. klop deh. Dan, gara-gara nggak ada rencana yang matang sebelumnya, kita sempet kerepotan cari penginapan. Luar biasa.. 99% fully booked!!! Si papah hampir aja memutuskan untuk pulang, terus besok paginya kita putar haluan aja ke Bandung. Tapi anak-anak kompak untuk meneruskan perjalanan sembari hunting penginapan sore itu. Meski hujan-hujan dan sedikit macet, suamiku bela-belain nyetir dan naik-turun mobil tiap ada penginapan (tanya-tanya barangkali ada kamar kosong). Padahal biasanya boro-boro dia mau begitu. Sepertinya si papah tak ingin anak-anak kecewa, lebih-lebih bulan lalu kami baru meninggalkan mereka dalam waktu yang cukup lama...

Alhamdulillah, dewi fortuna rupanya masih berpihak pada kami. Senja itu, di puncak tertinggi, akhirnya di Puncak Pass Ressort kami mendapat kamar. Itupun tinggal 1 yang kosong. Anak-anak bersorak. Tanpa dikomando mereka langsung berebutan bawa barang-barang ke kamar. Tujuannya cuma satu: mereka ingin segera bisa main PS dan internet di kamar. MasyaAllah.. aku & papahnya sampai geleng-geleng kepala. Memang apa bedanya sih main PS di rumah sama di puncak pass ya?


Tapi itulah anak-anak. Kadang kita perlu juga sesekali 'cari suasana baru' begini. "Asal jangan berlebihan aja", demikian selalu suamiku menasehatiku. Selamat Tahun Baru 1430 H / 2009 M.