Jumat, Maret 20, 2009

JIKALAH PADA AKHIRNYA...


Jikalah derita akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dijalani dengan sepedih rasa,
Sedang ketegaran akan lebih indah dikenang nanti.

Jikalah kesedihan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa tidak dinikmati saja,
Sedang ratap tangis tak akan mengubah apa-apa.

Jikalah luka dan kecewa akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dibiarkan meracuni jiwa,
Sedang ketabahan dan kesabaran adalah lebih utama.

Jikalah kebencian dan kemarahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti diumbar sepuas jiwa,
Sedang menahan diri adalah lebih berpahala.

Jikalah kesalahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti tenggelam di dalamnya,
Sedang taubat itu lebih utama.

Jikalah harta akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti ingin dikukuhi sendiri,
Sedang kedermawanan justru akan melipatgandakannya.

Jikalah kepandaian akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti membusung dada dan membuat kerusakan di dunia,
Sedang dengannya manusia diminta memimpin dunia agar sejahtera.

Jikalah cinta akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti ingin memiliki dan selalu bersama,
Sedang memberi akan lebih banyak menuai arti.

Jikalah bahagia akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dirasakan sendiri,
Sedang berbagi akan membuatnya lebih bermakna.

Jikalah hidup akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti diisi dengan kesia-siaan belaka,
Sedang begitu banyak kebaikan bisa dicipta.

Suatu hari nanti,
Saat semua telah menjadi masa lalu,
Aku ingin ada diantara mereka,
Yang bertelekan di atas permadani,
Sambil bercengkerama dengan tetangganya,
Saling bercerita tentang apa yang telah dilakukannya di masa lalu,
Hingga mereka mendapat anugerah itu.

Duhai kawan, dulu aku miskin dan menderita,
namun aku tetap berusaha untuk senantiasa bersyukur dan bersabar.
Dan ternyata, derita itu hanya sekejap saja dan hanya seujung kuku,
di banding segala nikmat yang kuterima di sini..
Wahai kawan, dulu aku membuat dosa sepenuh bumi,
namun aku bertaubat dan tak mengulang lagi hingga maut menghampiri.
Dan ternyata, ampunan-Nya seluas alam raya,
Hingga sekarang aku berbahagia..

Suatu hari nanti,
Ketika semua telah menjadi masa lalu,
Aku tak ingin ada di antara mereka,
Yang berpeluh darah dan berkeluh kesah:
Andai masa lalu mereka adalah tanah saja.

Duhai! harta yang dahulu kukumpulkan sepenuh raga,
ilmu yang kukejar setinggi langit,
kini hanyalah masa lalu yang tak berarti.
Mengapa dulu tak kubuat menjadi amal jariah yang dapat menyelamatkanku kini?
Duhai! nestapa, kecewa, dan luka yang dulu kujalani,
ternyata hanya sekejap saja dibanding sengsara yang harus kuarungi kini.
Mengapa aku dulu tak sanggup bersabar meski hanya sedikit jua?

(Azimah Rahayu - Forum Lingkar Pena)

Kamis, Februari 12, 2009

MENYAMBUT UMUR 40 TAHUN

Akar dan orientasi kultur masyarakat barat adalah materialisme. Mereka menilai dan membuat indikator hidup dari sisi materialistis. Atas dasar ini tidak mengherankan jika mereka mempunyai ungkapan bahwa 'hidup' dimulai dari umur 40, life begin at 40.

Asumsinya adalah pada umur ini, karir telah cukup mapan, pendapatan, serta kekayaan telah mencukupi. Karena itu, sering pula pada umur 40 tahun ini dikaitkan dengan puber kedua, yang membawa pada perselingkuhan. Kemapanan materi membawa godaan, sehingga umur 40 tahun merupakan saat kritis terjadi perceraian dalam rumah tangga.
Islam memberi perhatian pada umur 40 berbeda secara diametrikal dengan budaya barat. Umur 40 mendapat perhatian khusus dari Al-Qur'an. Dalam Surat Al Ahqaf (46) ayat 15 Allah berfirman:

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa : " Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Kau berikan kepadaku, dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat beramal shalih yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesunggguhnya aku bertaubat kepadaMu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."

Dalam surat tersebut setidaknya terdapat empat indikator kemuliaan manusia yang seharusnya menjadi identitas orang yang mencapai umur 40 tahun, yaitu: bersyukur, bertaubat, beramal shalih, dan berserah diri.

Bersyukur kepada Allah atas karunia umur yang menghantarkannya mencapai angka 40. Bersyukur atas kenikmatan hidup yang telah dianugerahkan Allah, baik berupa kenikmatan material maupun nikmat anak keturunan (dzuriyat). Bersyukur sesuai hakikat bahwa semuanya karena kehendak yang mengikuti nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah dan dicontohkan dalam kehidupan Rasul dan para sahabat.

Bertobat disertai kesadaran bahwa manusia mempunyai kalbu yang berbolak balik antara tarikan kebaikan dan keburukan.. Bertobat disertai perenungan dan perhitungan apakah di usia 40 tahun lebih berat kebaikannya atau keburukannya. Nabi SAW bersabda dalam sebuah hadistnya,
"Sesiapa yang mencapai umur 40 tahun dan dosanya lebih berat dari amal baiknya maka bersiaplah memasuki neraka."

Berserah diri, merupakan permulaan yang pas untuk menapaki usia 40 tahun. Dengan demikian umur 40 tahun dipandang sebagai pencerahan kejiwaan, gerbang cahaya menuju kehidupan yang lebih mulia.

Disamping itu juga usia 40 tahun berarti jatah usia kita sudah berkurang. meskipun secara kuantitatif usia kita bertambah. Artinya seandainya jatah usia kita 50 tahun, maka hidup kita tinggal 10 tahun, atau jika jatah usia kita 60 tahun, maka kita tinggal menghitung sendiri, berapa lama kita hidup lagi. Dan seterusnya.
Aneh jika sebagian kita merayakan ulang tahun dengan bangga bernyanyi ria "panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia, serta mulia". Seharusnya kita introspeksi bahwa, jatah usia kita semakin berkurang dan nilai-nilai kemuliaan harus dijadikan barometer dalam beramal.. Wallahu a'lam.

(disadur dari http://jaen2006.wordpress.com/)

Selasa, Februari 10, 2009

TATKALA ANGGREK BERBUNGA



Kalau bicara soal tanaman dan bunga, ibuku adalah jawaranya (dan ibuku juga adalah IBU juara satu di seluruh dunia, tak ada bandingannya bagi kami, anak-anaknya). Konon, suamiku justru pertama kali jatuh cinta sama bunga-bunga di halaman rumah ibuku sejak dia pertama kali berkunjung di awal bulan Juli 1989 dulu. "Bukan sama penghuninya", katanya (kurang ajar betul ya!) Tapi memang demikianlah kenyataannya, tanaman apapun 'jadi' jika sudah kena sentuhan tangan dingin ibuku. Tak heran kalau orang bisa betah berlama-lama di rumah ibu nan asri itu (ah.. kok jadi 'kangen' ya..hiks)

Dan, aku benci setengah mati karena suamiku selalu membanding-bandingkan aku dengan ibu dalam soal tanam-menanam dan rawat-merawat bunga itu. Dia menyayangkan kenapa aku tak bisa mewarisi 'bakat' ibu yang satu itu (So what gitu loh..). Dia bahagia banget jika ibuku berkomentar soal tanamanku yang 'tak terawat' dengan baik. "Iya Bu, maklum wanita karier, nggak sempet.." begitu dia memanas-manasiku. Parahnya, komentar-komentar ibuku tiap berkunjung ke rumah kami dan sentilan suamiku (yang sering mematikan karakter) itu malah membuatku semakin malas. Kuserahkan begitu saja perawatan tanaman2 di halaman rumahku itu sama si Empok, yang -paling banter- hanya disiraminya aja tiap sore.

Hingga suatu ketika, sahabatku Henie Suryana lewat blognya (http://nisanajma.multiply.com/) sharing tentang anggrek-2nya yang berbunga setelah sering diajak ngomong. Tanaman bagai manusia!!, demikian dia beri judul pada postingan yang berisi tulisan & foto2 anggreknya itu. Aku cukup terinspirasi oleh ceritanya itu. Sebenarnya sih, dulu ibuku-pun pernah mengatakan hal -yang kurang lebih- sama.
Ketika aku akan berangkat ke tanah suci 2 bulan lalu, selain aku 'pamit' sama keluarga besarku & keluarga besar suamiku, teman2 sejawat, para tetangga dan handai taulan, aku juga 'pamit' sama rumah & kompleksku ('jangan banjir ya..' gumamku ketika itu). Tiba-tiba kulihat tanaman2ku di halaman yang sepertinya 'merana' akan kutinggal pergi. Dan malam2 sebelum esok paginya aku 'berangkat' itu, kupamiti mereka satu persatu. Kuelus-elus daun2 anggrek -pemberian ibuku- yang sudah lama 'ngambek' tak berbunga itu (padahal waktu kubawa dulu bunganya sampai 3 bulan nggak habis2), kusirami dia dengan air -bekas cucian- beras. Kuajak dia bicara sepenuh hatiku: "Maafin aku ya Nggrek, selama ini 'tak kuurus' kau dengan baik. Aku pergi dulu, kalau aku pulang nanti sambut aku dengan 'bunga'-mu yaa.."

Subhanallah, aku benar2 kaget waktu pulang dan mendapati anggrek-ku telah mulai kuncup. Sejak itu aku makin rajin menyiraminya dengan 'air beras'. Dan kini lihatlah, anggrek-ku telah berbunga, 2 tangkai sekaligus! Paling tidak, aku telah mematahkan 'mitos' suamiku bahwa aku tidak bisa mewarisi bakat ibu (walapun tentu saja aku tak bisa secanggih ibuku, red). I love you, Mom..

Rabu, Januari 21, 2009

RUJAK BEBEK & TOGE GORENG


Dua jenis makanan ini adalah jajanan favorit suamiku. Tak peduli hujan - gerimis - panas - terik, di jalanan - di halaman rumah orang - bahkan di pinggir got sekalipun, tiap ada pedagang dua jenis jajanan itu, pasti akan langsung disamperin dan dibelinya. Dan yang pasti, acara jalan-jalan sering terkorupsi 30 menit sampai 1 jam hanya untuk nungguin si papah melampiaskan dendam kesumatnya, lebih-lebih jika sudah lama tak ketemu dengan yang namanya 'rujak bebek' atau 'tauge goreng' itu, nggak tanggung-tanggung, bisa 2 - 3 porsi sekaligus!

Awalnya kami tak pernah tertarik untuk ikut nimbrung sama si papah, paling-paling kita tunggu di mobil sambil dengerin radio, musik atau ngobrol ngalor-ngidul aja. Tapi lama-lama bete juga nungguin si papah yang nggak balik-balik (karena nambah lagi dan nambah teruss..). Akhirnya satu per-satu anak-anak turun. Niatnya sih pengin ajak si papah cepet2 balik ke mobil dan nerusin perjalanan. Tapi sampai di sana, begitu liat ekspresi papahnya yang lagi makan dengan 'lahap-nya.. e-eh, iseng juga mereka pengin cobain. Sejak itu mereka ikut-ikutan keranjingan, terutama sama si rujak bebek.

Yang pasti, sekarang acara makan rujak bebek jadi lebih ramai. Si papah telah berhasil mewariskan 'kedoyanan' akan rujak bebek pada keempat jagoan kami. Betapa bangganya dia, soalnya selama 14 tahun terakhir aku menjadi istrinya, tak sekalipun dia berhasil menularkan hobby-nya yang satu itu padaku. So what gitu loh...

Jumat, Januari 16, 2009

SEWAKTU SENJA DI PUNCAK PASS


Malam pergantian tahun ini kami lewati di puncak. Kebetulan anak-anak libur semesteran, sementara aku & papahnya masih cuti besar.. klop deh. Dan, gara-gara nggak ada rencana yang matang sebelumnya, kita sempet kerepotan cari penginapan. Luar biasa.. 99% fully booked!!! Si papah hampir aja memutuskan untuk pulang, terus besok paginya kita putar haluan aja ke Bandung. Tapi anak-anak kompak untuk meneruskan perjalanan sembari hunting penginapan sore itu. Meski hujan-hujan dan sedikit macet, suamiku bela-belain nyetir dan naik-turun mobil tiap ada penginapan (tanya-tanya barangkali ada kamar kosong). Padahal biasanya boro-boro dia mau begitu. Sepertinya si papah tak ingin anak-anak kecewa, lebih-lebih bulan lalu kami baru meninggalkan mereka dalam waktu yang cukup lama...

Alhamdulillah, dewi fortuna rupanya masih berpihak pada kami. Senja itu, di puncak tertinggi, akhirnya di Puncak Pass Ressort kami mendapat kamar. Itupun tinggal 1 yang kosong. Anak-anak bersorak. Tanpa dikomando mereka langsung berebutan bawa barang-barang ke kamar. Tujuannya cuma satu: mereka ingin segera bisa main PS dan internet di kamar. MasyaAllah.. aku & papahnya sampai geleng-geleng kepala. Memang apa bedanya sih main PS di rumah sama di puncak pass ya?


Tapi itulah anak-anak. Kadang kita perlu juga sesekali 'cari suasana baru' begini. "Asal jangan berlebihan aja", demikian selalu suamiku menasehatiku. Selamat Tahun Baru 1430 H / 2009 M.

Minggu, Desember 21, 2008

SEPERCIK UNTAIAN DO'A ARAFAH

Arafah, 9 Dzulhijah 1429 H (7 Des 2008)

Aku memohon-Mu
dengan nama-Mu yang suci benderang..
Cahaya di atas cahaya
Sumber segala 'Nur'..
Yang karena kedahsyatannya bumi terbelah,
langit terbuka
dan singgasana (Arsy) bergetar!!!

Aku memohon-Mu
dengan nama-Mu yang membuat
sayap-sayap malaikat-Mu berkelepak!
Aku memohon-Mu
dengan perantara Jibril, Mikail, Israfil
dan Muhammad al-Mustafa SAW
serta seluruh nabi dan malaikat!

Aku memohon-Mu
dengan nama-Mu yang Engkau torehkan
di atas altar kehormatan dan kemuliaan,
wahai Yang tak mengabaikan orang yang meminta-Nya...

Rabu, Desember 17, 2008

LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK...

Labbaik Allahumma Labbaik...
Labbaika laa syariika laka labbaik
Innal hamda wa ni'mata laka walmulka
Laa syariikalaka

Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah..
Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu
Sesungguhnya segala puji, nikmat & kerajaan hanyalah milik-Mu
Tiada sekutu bagi-Mu...


18 November 2008

(di Bandara Soekarno Hatta, diatas GA-984 dan di King Abdul Aziz Airport, Jeddah)




19-23 Nov 2008
(Masjidil Haram, Mekkah Al Mukarromah)



Lautan manusia di Masjidil Haram


Jabbal Rahmah

23 Nov - 3 Desember 2008
(Shalat Arba'in, Masjid Nabawi - Madinah Al Munawaroh)


Masjid Nabawi , Raudah


Green Dome


Masjid Kuba, Kebun Korma


Subhanallah... Allahu Akbar... Wallahu a'lam bishawwab...

3 - 6 Desember 2008
(Aziziah; persiapan dan pemantapan menjelang Haji)


Survey Jamarat (lokasi lempar jumroh) dan tenda di Mina


Terowongan Mina

7 Desember 2008
(9 Dzulhijjah; Wukuf di Arafah & Mabit di Mudzalifah)


MiringArafah.. oh arafah... Disinilah tempat Allah menjamu tamu-Nya dengan 'hidangan' yang paling istimewa

8 Desember 2008
(10 Dzulhijah 1429 H; Tawaf Ifadah & Jumratul Aqabah)


Istirahat sejenak usai Thawaf Ifadah & Shalat 'Ied di Masjidil Haram

9-10 Desember 2008
(11-12 Dzulhijah 1429 H; Jumratul Ula, Wustha & Aqabah - Nafar Awwal, Mabit di Mina)



Usai lontar Jumroh... akhirnya do'aku terkabul, aku bisa juga ketemu Mba Uning & Mas Bambang... Alhamdulillah...
(Episode: "20 hari mencari Mba Uning"...happy ending)

11-12 Desember 2008
(Tawaf Wada' & go to Jeddah, City Tour dll)


Peternakan Unta, Masjid Terapung, Le-Meridien Hotel - Jeddah

13 Desember 2008 jam 08.00 WIB
(Tiba kembali di tanah air tercinta... Alhamdulillah)


Dzaka, Akbar & Affan jemput ke Cengkareng sama Kakek-Nenek, Cek Nong & Cek Tya. Dzaki nggak ikut jemput karena sekolahnya nggak libur dan dia pantang membolos..("Kita ketemu di rumah aja ya, Mah", katanya waktu kutelpon sebelum take-off dari Jeddah)

Rabu, November 05, 2008

Ketika Rasulullah SAW Tersenyum...

Bayangkan…,
Apabila Rasulullah SAW dengan seijin Allah tiba-tiba muncul mengetuk pintu rumah kita........
Beliau datang dengan tersenyum dan muka bersih di muka pintu rumah kita, Apa yang akan kita lakukan? Mestinya kita akan amat sangat berbahagia, memeluk Beliau erat-erat dan lantas mmpersilahkan Beliau masuk ke Ruang tamu kita. Kemudian kita tentunya akan meminta dengan sangat agar Rasulullah SAW sudi menginap beberapa hari di rumah kita.
Beliau tentu tersenyum........

Tapi barangkali kita meminta pula Rasulullah SAW menunggu sebentar di depan pintu karena kita teringat akan lukisan ‘wanita’ yang kita pajang di ruang tamu, sehingga kita terpaksa juga memindahkannya ke belakang secara tergesa-gesa. Barangkali kita akan memindahkan lafal Allah dan Muhammad yang ada di ruang samping dan meletakkannya di ruang tamu.
Beliau tentu tersenyum.......

Atau barangkali kita teringat Video, CD, dan kumpulan film, yang ada di ruang tengah dan kita tergesa-gesa memindahkan dahulu kumpulan CD tersebut ke dalam.
Beliau tentu tetap tersenyum........

Bagaimana bila kemudian Rasulullah SAW bersedia menginap di rumah kita ?
Barangkali kita teringat bahwa anak kita lebih hapal lagu-lagu barat daripada menghapal Sholawat kepada Rasulullah SAW. Barangkali kita menjadi malu bahwa keluarga kita tidak mengetahui sedikitpun sejarah Rasulullah SAW karena kita lupa dan lalai mengajarkannya.
Beliau tentu tersenyum........

Barangkali kita menjadi malu bahwa anak kita tidak mengetahui satupun nama keluarga Rasulullah SAW dan sahabatnya tetapi hapal di luar kepala mengenai anggota Power Rangers atau F4. Barangkali kita terpaksa harus menyulap satu kamar menjadi ruang Shalat. Barangkali kita teringat bahwa perempuan di rumah kita tidak memiliki koleksi pakaian yang pantas untuk berhadapan dengan Rasulullah SAW.
Beliau tentu tersenyum........

Belum lagi koleksi buku-buku kita. Belum lagi koleksi kaset kita. Belum lagi koleksi karaoke kita. Kemana kita harus menyingkirkan semua koleksi tersebut demi menghormati junjungan kita? Barangkali kita menjadi malu diketahui junjungan kita bahwa kita tidak pernah ke masjid meskipun azan berbunyi.
Beliau tentu tersenyum........

Barangkali kita menjadi malu karena pada saat maghrib keluarga kita malah sibuk di depan TV.
Barangkali kita menjadi malu karena kita menghabiskan hampir seluruh waktu kita untuk mencari kesenangan duniawi.
Barangkali kita menjadi malu karena keluarga kita tidak pernah menjalankan sholat jama’ah atau sunnah.
Barangkali kita menjadi malu karena keluarga kita sangat jarang membaca Al Qur'an.
Barangkali kita menjadi malu bahwa kita tidak mengenal tetangga-tetangga kita.
Beliau tentu tersenyum.......

Barangkali kita menjadi malu jika Rasulullah SAW menanyakan kepada kita siapa nama tukang sampah yang setiap hari lewat di depan rumah kita. Barangkali kita menjadi malu jika Rasulullah SAW bertanya tentang nama dan alamat penjaga masjid di kampung kita.
Betapa senyum beliau masih ada di situ........

Bayangkan apabila Rasulullah SAW tiba-tiba muncul di depan rumah kita......
Apa yang akan kita lakukan ? Masihkah kita memeluk junjungan kita dan mempersilahkan Beliau masuk dan menginap di rumah kita ? Ataukah akhirnya dengan berat hati, kita akan menolak Beliau berkunjung ke rumah karena hal itu akan sangat membuat kita tidak nyaman, repot dan malu…

Maafkan kami ya Rasulullah.... Masihkah Beliau tersenyum ? Senyum pilu, senyum sedih dan senyum getir.....
Oh… betapa memalukannya kehidupan kita saat ini di mata Rasulullah........

Dan akankah kita membuat Beliau tersenyum di pertemuan kita dengan Rasulullah SAW (di yaumil akhir) nanti …?
Dan keinginan berkumpul dengan umatnya menjadikan Rasulullah SAW selalu memaafkan kesalahan umat yang dicintainya… karena sang pecinta sejati memiliki segudang maaf untuk umatnya yang menyadari kesalahan dan kembali padanya…

Jumat, Oktober 24, 2008

ADEK AFFAN MULAI BER-ULAH

Seperti biasa, aku selalu membaca 'buku penghubung' dari sekolah anak2 karena dari situlah aku mengetahui informasi2 penting dari sekolah mereka seperti jadwal ulangan, rapat koordinasi orang tua-guru, tugas2 sekolah dsb.

Tapi kali ini sungguh mengagetkan. Bu Dian, wali kelas Affan di kls II-Hunain menulisiku tentang 'kelakuan' Affan hari itu di sekolah. Menurut bu Guru, Affan terlibat 'pertengkaran' dengan anak kelas I. "Kejadiannya cukup membahayakan karena sampai melempar penggaris dan gunting", demikian tulis bu Dian. Walaupun mereka sudah di'damai'kan oleh pihak guru dan sekolah, tetep aja aku 'gerah' sebab konon si anak tersebut adalah anak kepala sekolah (???)

Inilah buah yang harus kupetik, sifat temperamental Affan akhir2 ini adalah gara2 papah dan abang2nya yang tak bosan2nya 'gangguin' dia ("Abis kalau bukan Affan, saya mesti 'gangguin' siapa lagi dong...Yang lain kan udah gedhe2" itu selalu alasan suamiku ketika aku protes dg kebiasaan jeleknya itu). Kontan aku marah besar sama papah & abang-2nya di rumah kemarin. Dan sidang Istimewapun digelar..

Si kecil Affan berdalih, "Aku cuma 'ngebantuin' temenku aja Mah. Dia yang ngajakin aku tadi.." Dengan menahan emosi aku berusaha untuk 'memberi pemahaman' kepada Affan tentang akibat perbuatannya itu... bla...bla...bla... Aku ngeness.. banget ketika lihat wajah polosnya itu mengangguk seraya berjanji untuk tidak mengulangi lagi..

Ah, Affan.. please, jangan ber-ulah lagi ya..

Selasa, Oktober 14, 2008

Selalu Ada Jalan Keluar

Dari: Imam Sutrisno

Di suatu pagi, mentari tampak meredupkan cahayanya, tak seperti biasanya yang selalu tersenyum lebar dan menebarkan aroma cahaya kecerahan pada setiap insan di muka bumi.
Sementara di sebelah sanapun sang hujan mulai menggoda, mulai melambai-lambaikan godaan awan seolah mengejek sang mentari tuk mulai bersenda gurau, "pagi yang menyejukkan.." guraunya.
Sang mentaripun tersenyum simpul mendengar ejekan sang hujan, dengan lirihpun berucap, "wangi aroma cahayaku tak sirna oleh lambaian godaan awanmu....." Sang hujanpun balas mengejek, "bagaimana mungkin engkau tak kan terhalang, sedang aroma cahayamu tak sampai di muka bumi?"
Sang mentari dengan tegas menjawab, "wangi aroma cahayaku akan selalu terpancar oleh hati-hati hamba yang beriman, walau mendung awan menyelemuti bumi mereka." Mendengar jawaban demikian sang hujanpun berujar, "sungguh engkau telah benar!."

Itulah sepenggal kalimat yang barangkali menjadi sebuah bahan inspirasi, bahwa pada dasarnya sinar cahaya akan selalu benderang menghiasi ruangan - ruangan hati hamba yang beriman. Sang cahaya tak hilang walau diterjang berbagai awan yang melintang, karena sesungguhnya awan itu hanyalah sebuah "sarana penegasan" untuk bisa melihat sang cahaya kembali.
Begitulah, kita hidup di dunia ini, terkadang karena berbagai problema hidup seolah menenggelamkan sumber cahaya abadi yang ada dalam hati ini, padahal justru karena problema hidup itu, "nilai" kita semakin teruji. Bagaimana mungkin kita bisa dibedakan dengan makhluk Allah yang lain, bila kita tidak pernah diuji.
Justru karena ujian, kita "dipaksa" untuk selalu mengasah akal dan fikiran kita. Justru karena ujian, kita selalu dan selalu melihat tanda -tanda kekuasaan Allah. Karena sesungguhnya bagi seorang mu'min "segalanya merupakan kebaikan."

Dalam sebuah haditspun Rasulullah pernah bersabda, " Sungguh unik perkara orang mukmin itu! Semua perkaranya adalah baik. Jika mendapat kebaikan ia bersyukur, maka itu menjadi sebuah kebaikan baginya. Dan jika ditimpa musibah ia bersabar, maka itu juga menjadi sebuah kebaikan baginya. Dan ini hanya akan terjadi pada orang mukmin. "

Terkadang, saat kita mengalami sebuah persoalan ekonomi misalnya, begitu berat gundah gulana melanda fikiran kita, perasaan kita bahkan hati kita terasa kacau balau. Namun sadarkah kita, bahwa seberat apapun masalah yang kita hadapi "pasti" sesuai ukuran yang Allah berikan kepada kita. Ini yang harus senantiasa menjadi sebuah "keyakinan mutlak" dalam diri kita.
Sikap kita terhadap sebuah permasalahan, ternyata lebih penting dibanding masalah itu sendiri. Kita sadar di dunia ini tidak ada satupun manusia yang tidak mempunyai masalah, karena memang karena itulah manusia terlahir ke muka bumi, untuk merampungkan masalah. Melalui sebuah masalah, sungguh-sungguh nilai kita diuji oleh Allah. Akankah karena suatu masalah membawa kita semakin dekat kepada Allah? Atau malah mungkin semakin jauh dari bimbingan Allah?

Tatkala karena suatu masalah menimpa kita, lalu setahap demi setahap semakin bisa melihat "betapa besar kekuasaan Allah", maka insya Allah balasan dari Allah lebih besar dari masalah itu sendiri. Namun jika kita semakin membawa diri kepada sebuah kemalasan, kejenuhan, hilangnya motivasi diri.... jangan-jangan kita terbawa kepada sebuah "tipu daya" dari nafsu kita sendiri, yang pada akhirnya membawa kepada sebuah kesengsaraan hakiki.
Sikap kita bisa "selamat", tatkala pada titik puncak "keyakinan hakiki" mengatakan bahwa, "tiada daya dan upaya kecuali karena Allah semata", bukan karena fikiran kita, bukan karena strategi kita, bukan karena kelihaian lobby kita, bukan karena skill kita.... dan bla.. bla...... Tatkala kita "merasa" bisa mengatasi permasalahan namun dalam hati kita, berkata " karena kemampuan fikiran saya" dan melupakan "pemberi" fikiran kita sendiri... Maka sesungguhnya lambat laun tanpa sadar... Kita terbawa pada arus "kesombongan diri..""Na'udzubillah!!!!.
Maka, seandainya saja, kita sudah bisa melihat "rahasia" sebuah masalah, maka sungguh "penglihatan akan keagungan kekuasaan Allah semakin terbuka." Yang terbuka oleh mata hati ini..... Karena hati ini telah bisa melihat, maka pancaran cahayanyapun akan menyinari sang fikiran untuk berfikir lebih jernih... Lebih terarah..., juga kan menyinari setiap langkah dan lintasan fikiran kita.... hingga "jalan keluarpun" akan diturunkan oleh "Sang Pemberi Cahaya."

Dalam do'a Ibnu Athaillah, disebutkan, “Inilah aku mendekat pada-Mu dengan perantara kefakiranku (kebutuhanku) kepada-Mu, Dan bagaimana aku akan dapat berperantara kepada-Mu, dengan sesuatu yang mustahil akan dapat sampai kepada-Mu (yakni tidak ada perantara kepada Allah dengan sesuatu selain Allah). Dan bagaimana aku akan menyampaikan kepada-Mu keadaanku, padahal tidak tersembunyi daripada-Mu. Dan bagaimana akan saya jelaskan pada-Mu halku, sedang kata-kata itu pula daripada-Mu dan kembali kepada-Mu. Atau bagaimana akan kecewa harapanku, padahal telah datang menghadap kepada-Mu. Atau bagaimana tidak akan menjadi baik keadaanku, sedang ia berasal daripada-Mu dan kembali pula kepada-Mu."

Www. Sutrisno. Wordpress. Com